Statistik Pengunjung

Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Selasa, 23 Desember 2008

Kado ‘Istimewa’ Hakim Untuk Hari Antikorupsi

…hasil penelitian Political Economy and Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2008 rasanya dapat dijadikan rujukan. Lembaga riset prestisius yang berbasis di Hongkong itu menempatkan peradilan Indonesia sebagai peradilan terkorup di Asia. Hal ini terlihat dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia hanya menduduki peringkat buncit, yakni 12 dengan skor 8,26.


ANGGOTA Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW) Andan Topan Husodo mengatakan bahwa vonis bebas bukan merupakan sebuah masalah. Pasalnya tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa hakim harus menghukum terdakwa korupsi. Independensi hakim dalam memutus perkara korupsi, dan perkara lain, adalah jaminannya.

Meski begitu, Adnan merasa bahwa vonis bebas terhadap kasus korupsi telah menjadi kerisauan publik yang luas. Karena sudah terlalu banyak kasus korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan umum. Setidaknya begitu yang tercatat oleh ICW. Bagaimana ICW dalam ?melihat masalah ini? Berikut kutipan wawancara wartawan Bangka Pos Group, M Ismunadi dengan Adnan Topan Husodo lewat telpon, Sabtu (13/12):

DALAM catatan ICW, pada semester satu tahun 2008, terdapat 94 perkara korupsi dengan 196 terdakwa yang telah diperiksa dan divonis pengadilan di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri = 72 perkara), banding (Pengadilan Tinggi= 7 perkara), kasasi (MA=15 perkara). Sedangkan nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,196 triliun.

Dari 196 terdakwa korupsi yang diproses hukum oleh pengadilan umum, sebanyak 104 terdakwa divonis bebas. Sisanya, yakni 92 terdakwa akhirnya divonis bersalah. Ini artinya, 53 persen dari seluruh terdakwa menghirup udara bebas karena hakim memutuskan tidak terbukti. Sementara 47 persennya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Meskipun komposisi antara yang bebas dan bersalah relatif berimbang, akan tetapi telaah lebih lanjut menunjukan hal yang amat mengecewakan. Pasalnya, dari 92 terdakwa korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah mendapatkan vonis penjara yang ringan. Dengan kata lain, putusan bersalah pengadilan terhadap pelaku korupsi belum memberikan efek jera.

Rinciannya, pelaku korupsi yang divonis bersalah dibawah 1 tahun penjara sebanyak 36 terdakwa (18,3 %). Hukuman penjara diatas 1,1 tahun hingga 2 tahun sebanyak 40 terdakwa (20,4 % ), divonis hingga 5 tahun sebanyak 5 terdakwa (2,5 %) serta divonis 5,1 tahun hingga 10 tahun sebanyak 4 terdakwa (2,04 %).

Parahnya, diantara putusan bersalah tersebut, terdapat 7 terdakwa kasus korupsi yang divonis percobaan (3,57%), putusan yang dalam literatur tindak pidana korupsi tidak dikenal sama sekali. Dengan demikian, secara rata-rata, vonis penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan umum adalah 6,43 bulan penjara. Kondisi yang tentunya menyedihkan karena vonis tersebut mengandung kesan rendahnya komitmen pengadilan dalam mendukung agenda pemberantasan korupsi.

Berbicara mengenai buruknya komitmen pengadilan dalam memberantas korupsi, hasil penelitian Political Economy and Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2008 rasanya dapat dijadikan rujukan. Lembaga riset prestisius yang berbasis di Hongkong itu menempatkan peradilan Indonesia sebagai peradilan terkorup di Asia. Hal ini terlihat dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia hanya menduduki peringkat buncit, yakni 12 dengan skor 8,26.

Sudah seharusnya hasil ini tidak dianggap sepele oleh Pemerintah karena mayoritas responden adalah warga negara asing. Dengan kata lain, di mata internasional, Indonesia telah dipandang tidak memiliki kemauan politik yang besar untuk membenahi lembagah)peradilan yang korup.

Namun demikian, dalam situasi pengadilan Indonesia yang telah menyulut apatisme masyarakat luas, baik domestik maupun internasional, sebenarnya kita masih menyimpan asa. Paling tidak ada suguhan yang menyegarkan pada lingkup pengadilan yang lain. Realitas pengadilan umum berbanding terbalik dengan kinerja pengadilan khusus korupsi (pengadilan tipikor). Harapan bahwa pemberantasan korupsi mendapatkan dukungan yang bulat dari hakim dapat kita lihat pada pengadilan tipikor.

Jika vonis bebas adalah hal majemuk yang diberikan oleh hakim pengadilan umum, tidak ada satupun kasus korupsi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibebaskan oleh pengadilan tipikor, bahkan pada semua tingkatan. Justru kecenderungannya sangat positif, karena upaya banding atau kasasi yang dilakukan terpidana biasanya akan diganjar dengan vonis penjara yang lebih berat.

Fakta ini menunjukan bahwa kita sebenarnya memiliki potensi untuk dapat memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Pengadilan tipikor telah memulai usaha itu. Pertanyaannya, apakah semangat ini juga akan diikuti oleh para hakim di pengadilan umum? Sayang sekali, pada perayaan hari antikorupsi sedunia saat ini, kita masih harus melihat ada pelaku korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan umum. Sebuah kado buruk dari hakim pengadilan umum untuk hari antikorupsi. (*)

Sumber : Kelompok Koran Daerah Kompas-Gramedia, Edisi Minggu 14 Desember 2008
* Bangka Pos (www.bangkapos.com)


Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net

Powered by  MyPagerank.Net